Kaedah Fikih: Menerjang yang Haram Saat Darurat
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Sebagian orang mencari keringanan dalam hukum syar’i dengan
mengakal-akali kaedah ini. Padahal ada syarat-syarat yang mesti
diperhatikan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1- Dipastikan
bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya).
Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya
menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr. Perlu
diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga
meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror
(bahaya).
2- Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang
larangan demi hilangnya dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada
dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka
tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.
3- Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
4- Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau yang nantinya terjadi.
Bedakan Darurat dan Hajat
Al muharram yang disebutkan dalam kaedah di atas adalah suatu yang
dilarang oleh syari’at. Sedangkan yang dimaksud dengan “dhoruroh” atau
darurat adalah suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka
ia akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Inilah
yang dimaksud dengan darurat menurut pendapat yang tepat. Sedangkan ada
pula istilah “hajat”, yang dimaksud adalah sesuatu yang bila
ditinggalkan, maka bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa
diganti dengan yang lain.
Contoh dhoruroh: Jika seseorang
terpaksa harus makan dan tidak ada makanan selain bangkai. Seandainya ia
tidak makan bangkai, ia bisa terkena bahaya dan tidak ada pengganti
kala itu.
Contoh hajat: Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menambah bejana (wadah) dengan
perak. Padahal bisa saja wadah tersebut ditambal dengan besi atau
kuningan dan lainnya. Beliau melakukan seperti itu karena adanya hajat.
Jadi, kaedah yang berlaku adalah “keadaan darurat membolehkan sesuatu
yang terlarang”, sedangkan keadaan hajat tidak demikian kecuali jika ada
dalil.
Bahasan ini tercantum secara lengkap di Rumaysho.com:
http://rumaysho.com/ faedah-ilmu/15-faedah-ilmu/ 4170--kaedah-fikih-7-menerjang- yang-haram-di-saat-darurat-.ht ml
Kaedah Fikih: Menerjang yang Haram Saat Darurat
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Sebagian orang mencari keringanan dalam hukum syar’i dengan mengakal-akali kaedah ini. Padahal ada syarat-syarat yang mesti diperhatikan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1- Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror (bahaya).
2- Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.
3- Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
4- Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau yang nantinya terjadi.
Bedakan Darurat dan Hajat
Al muharram yang disebutkan dalam kaedah di atas adalah suatu yang dilarang oleh syari’at. Sedangkan yang dimaksud dengan “dhoruroh” atau darurat adalah suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Inilah yang dimaksud dengan darurat menurut pendapat yang tepat. Sedangkan ada pula istilah “hajat”, yang dimaksud adalah sesuatu yang bila ditinggalkan, maka bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain.
Contoh dhoruroh: Jika seseorang terpaksa harus makan dan tidak ada makanan selain bangkai. Seandainya ia tidak makan bangkai, ia bisa terkena bahaya dan tidak ada pengganti kala itu.
Contoh hajat: Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menambah bejana (wadah) dengan perak. Padahal bisa saja wadah tersebut ditambal dengan besi atau kuningan dan lainnya. Beliau melakukan seperti itu karena adanya hajat.
Jadi, kaedah yang berlaku adalah “keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang”, sedangkan keadaan hajat tidak demikian kecuali jika ada dalil.
Bahasan ini tercantum secara lengkap di Rumaysho.com:
http://rumaysho.com/ faedah-ilmu/15-faedah-ilmu/ 4170--kaedah-fikih-7-menerjang- yang-haram-di-saat-darurat-.ht ml
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Sebagian orang mencari keringanan dalam hukum syar’i dengan mengakal-akali kaedah ini. Padahal ada syarat-syarat yang mesti diperhatikan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1- Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror (bahaya).
2- Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.
3- Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
4- Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau yang nantinya terjadi.
Bedakan Darurat dan Hajat
Al muharram yang disebutkan dalam kaedah di atas adalah suatu yang dilarang oleh syari’at. Sedangkan yang dimaksud dengan “dhoruroh” atau darurat adalah suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Inilah yang dimaksud dengan darurat menurut pendapat yang tepat. Sedangkan ada pula istilah “hajat”, yang dimaksud adalah sesuatu yang bila ditinggalkan, maka bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain.
Contoh dhoruroh: Jika seseorang terpaksa harus makan dan tidak ada makanan selain bangkai. Seandainya ia tidak makan bangkai, ia bisa terkena bahaya dan tidak ada pengganti kala itu.
Contoh hajat: Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menambah bejana (wadah) dengan perak. Padahal bisa saja wadah tersebut ditambal dengan besi atau kuningan dan lainnya. Beliau melakukan seperti itu karena adanya hajat.
Jadi, kaedah yang berlaku adalah “keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang”, sedangkan keadaan hajat tidak demikian kecuali jika ada dalil.
Bahasan ini tercantum secara lengkap di Rumaysho.com:
http://rumaysho.com/
0 komentar:
Posting Komentar