Kamis, 20 Januari 2011

Wanita tidaklah Sama dengan Laki-laki


Wanita memang bukan laki-laki. Namun mengapa masih banyak seruan yang ingin menyamakan antara dua jenis manusia ini yang jelas-jelas berbeda ini? Oleh karena itulah, kali ini kami akan uraikan beberapa perbedaan hukum antara laki-laki dan wanita yang Islam telah membedakan keduanya, di antaranya:
1. Air kencing bayi. Pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa, kecuali air susu ibunya, cukup dibasahi dengan air hingga rata. Namun apabila terkena air kencing bayi wanita, maka harus dicuci. Abu Samh radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ و يُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Dicuci yang terkena kencing bayi wanita dan dibasahi dengan air hingga rata yang terkena kencing bayi laki-laki.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud 2/36/372, Nasa-i 1/158, Shahih Nasa-i 293). Imam asy-Syaukani berkata, “Yang dimaksud makanan di sini adalah selain air susu dan yang digunakan untuk tahnik” (Nailul Authar 1/46).
2. Wanita tidak wajib shalat berjama’ah di masjid sebagaimana laki-laki, bahkan mereka lebih baik shalat di rumah. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمْ الْمَسْجِدَ وَ بُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk (shalat berjama’ah) di masjid, akan tetapi rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Ahmad 5/195/1333, Abu Dawud 2/274/563, lihat Shahih Abu Dawud 530).
3. Sebaik-baik shaf wanita dalam shalat berjama’ah adalah yang paling belakang, namun sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ اَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا و خَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا اَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan. Dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Adapun sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah yang paling depan.” (HR. Muslim 1/326/440, Abu Dawud 2/374/664, Tirmidzi 1/143/224, Nasa-i 2/93, Ibnu Majah 1/319/1000).
4. Apabila terjadi kesalahan imam (dalam shalat berjama’ah), maka wanita mengingatkan dengan tepukan tangan, namun bagi laki-laki mengingatkannya dengan tasbih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَابَاكُمْ شَيْءٌ فِيْ الصَّلاَةِ فَلْيَسَبِّحْ الرِّجَالُ وَلْيُصَفِّحْ النِّسَاءُ
“Apabila terjadi sesuatu dalam shalat, maka kaum laki-laki hendaknya bertasbih dan kaum wanita hendaklah menepuk (punggung -admin) tangan (kiri dengan tangan kanan -admin).” (HR. Ahmad 22700, Abu Dawud 2174 dengan sanad shahih).

5. Wanita tidak wajib shalat Jumat sebagaimana laki-laki. Thariq bin Syihah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الجُمْعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَي كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَامَعَةٍ إِلاَ اَرْبَعَةً : عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ اَوْ إِمْرَأَةٌ اَوْ صَبِيٌّ اَوْ مَرِيْضٌ
“Shalat Jumat adalah kewajiban setiap muslim kecuali empat, yaitu: budak, wanita, anak kecil dan orang sakit” (HR. Abu Dawud 3/394/1054, Daruquthni 2/3/2, Baihaqi 3/172, Hakim 1/228, lihat Shahih Jami’ush Shaghir 3111).
6. Dalam shalat jenazah, imam berdiri di sisi tengah jenazah wanita. Adapun jika jenazahnya laki-laki, maka imam berdiri di dekat kepalanya.
Abu Ghalib al-Khayyath berkata, “Saya melihat Anas bin Malik menyalati jenazah laki-laki, maka dia shalat di sisi kepalanya. Tatkala jenazah tersebut telah dibawa, datang lagi jenazah wanita Quraisy atau dari Anshar, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Hamzah…Ini jenazah Fulanah binti Fulan, shalatilah dia!” Maka beliau pun menyalatinya dengan berdiri di tengah-tengahnya, lalu Ala’ bin Ziyad al-Adawi berkata, “Wahai Abu Hamzah, beginilah dahulu Rasulullah menyalati jenazah?” Jawab Anas bin Malik, “Iya.” (HR. Abu Dawud 8/484/3178, Tirmidzi 2/249/1039, Ibnu Majah 1/479/1494, lihat Ahkam Jana-iz oleh al-Albani hlm. 109).

7. Batas aurat wanita berbeda dengan laki-laki. Para ulama berselisih pendapat mengenai batas aurat laki-laki dengan perempuan. Tapi merupakan suatu kepastian bahwa aurat keduanya berbeda dengan perbedaan yang sangat jelas. (Lihat kitab Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq 1/95-97, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar-ah oleh Syaikh Abdul Karim Zaidan, Shahih Fiqh Sunnah oleh Syaikh Abu Malik).

8. Kalau ingin mengerjakan puasa sunnah, maka seorang istri harus meminta izin kepada suaminya. Sedangkan suami tidak harus meminta izin kepada siapapun. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَصُوْمُ المَرْأَةُ وَ بَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita berpuasa saat saat suaminya ada bersamanya kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari 2/293/5192, Muslim 2/711/1026, dan dalam Abu Dawud  7/128/2441 terdapat tambahan “Kecuali puasa Ramadhan”).

9. Tidak sah pernikahan seorang wanita tanpa wali. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَيُّمَا إمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa wali, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud 6/98/2069,  Tirmidzi 2/280/1108, Ibnu Majah  1/605/1879 dengan sanad shahih, lihat Irwa’ul Ghalil 1840).
10. Seorang laki-laki boleh memiliki istri sampai empat sekaligus (poligami), sedangkan wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu dalam satu waktu (poliandri -admin). Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“…Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…” (QS. an-Nisaa [4] : 3).
11. Masa iddah bagi wanita. Kalau terjadi perpisahan antara suami-istri, baik karena cerai, fasakh (pembatalan akad nikah dengan sebab tertentu), ataupun kematian suami, maka seorang wanita wajib menjalani masa iddah (masa tunggu dalam batas waktu tertentu) untuk bisa menikah kembali. Adapun laki-laki, tidak ada masa iddah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah [2] : 228).
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا 
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. al-Baqarah [2] : 234).
12. Warisan wanita separuh bagian laki-laki apabila satu derajat. Allah Ta’ala berfirman:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (QS. an-Nisaa [4] : 11)
Hukum ini dikecualikan dalam dua hal yang telah dipaparkan dengan gamblang oleh para ulama.
13. Aqiqah (binatang yang disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak) anak wanita satu ekor, sedangkan anak laki-laki dua ekor kambing.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor bagi anak perempuan.” (HR. Ibnu Majah 2/1056/3163, Tirmidzi 3/35/1549, Shahih Ibnu Majah 2561).

14. Persaksian wanita separuh persaksian laki-laki. Allah Ta’ala berfirman:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai…” (QS. al-Baqarah [2] : 282).
15. Diyat (denda karena menghilangkan nyawa atau anggota tubuh) seorang wanita separuh diyat laki-laki. Tidak ada dalil yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang diyat wanita, baik diyat nyawa maupun anggota badan. (Lihat kitab Jami’ Ahkamin Nisaa karya Syaikh Musthafa al-Adawi 4/604). Akan tetapi telah terjadi Ijma’ bahwa diyat wanita adalah separuh diyat laki-laki. Seperti yang dinukil oleh Ibnul Mundzir (al-Ijma’ 72), Ibnu Hazm (Maratibul Ijma’ 140), Ibnu Qudamah (al-Mughni 9/571), dan Ibnu Rusyd (Bidayatul Mujtahid 2/425).
16. Wanita tidak boleh memegang tampuk kepemimpinan tertinggi sebuah negara. Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berita bahwa orang Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا اَمْرَهُمْ إِمْرَأَةً
“Tidak akan beruntung sebuah kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari 13/53/7099, Tirmidzi 3/360/2365, Nasa-i 8/227).
17. Wanita tidak boleh melakukan safar sendirian tanpa mahram, berbeda dengan laki-laki yang boleh safar sendirian. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ إِمْرَأَةٌ إلاَّ وَ مَعَهَا مَحْرَمٌ
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan  seorang wanita kecuali bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama mahramnya.” Maka ada seorang laki-laki yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku ingin pergi haji padahal saya terdaftar perang ini dan itu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
إِذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ إِمْرَأَتِكَ
“Pergilah haji bersama istrimu.” (HR. Bukhari 6/142/3006, Muslim 2/978/1341).

18. Wanita tidak diwajibkan berjihad (perang di jalan Allah) sebagaimana laki-laki. Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah wanita wajib berjihad?” Jawab beliau,
نَعَمْ, جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ الحَجُّ و العُمْرَةُ
“Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad, tapi tanpa peperangan, yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad 11/18, Ibnu Majah 2/968/2901, Daruquthni 2/384/215, Shahih Ibnu Majah 2354).
19. Wanita boleh memakai emas dan kain sutra, namun hal ini diharamkan bagi laki-laki. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memegang kain sutra dengan tangan kanan dan emas di tangan kiri, kemudian berkata,
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَي ذُكُوْرِ أُمَّتِي
“Sesungguhnya dua benda ini haram atas laki-laki dari umatku.” (HR. Abu Dawud 4058, Nasa-i 8/160/5144, Ahmad 1/115, dan Ibnu Majah 3595 dengan tambahan “halal bagi wanitanya” dengan sanad shahih, lihat al-Majma’ 5/143, ash-Shahihah 1865, Nailul Authar 2/83).
20. Haid, nifas, dan istihadhah yang menimpa wanita sangat berpengaruh pada banyak hukum yang khusus bagi mereka, baik itu thaharah (bersuci), shalat, puasa,haji, nikah, thalaq (cerai), dan yang lainnya, yang mana hukum-hukum tersebut tidak mengenai laki-laki.
Akhirnya, wahai wanita muslimah, inilah syari’at Allah dan kodrat Ilahi. Terimalah dengan lapang dada, insyaAllah engkau akan menjadi muslimah sejati.
Artikel ini disadur dari majalah al-Mawaddah edisi khusus tahun ke-3 Jumadil Ula 1431 H/April-Mei 2010 (penulis: Ust Ahmad Sabiq Abu Yusuf)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Ruang Belajar Ummu Naufal - Widuri. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Download Royalty free images without registering at Pixmac.com