Minggu, 30 Januari 2011

Makna Barokah

Segala puji bagi Allah, Maha Pemberi Keberkahan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Barokah atau berkah selalu diinginkan oleh setiap orang. Namun sebagian kalangan salah kaprah dalam memahami makna berkah sehingga hal-hal keliru pun dilakukan untuk meraihnya. Coba kita saksikan bagaimana sebagian orang ngalap berkah dari kotoran sapi. Ini suatu yang tidak logis, namun nyata terjadi. Inilah barangkali karena salah paham dalam memahami makna keberkahan dan cara meraihnya. Sudah sepatutnya kita bisa mendalami hal ini.

Makna Barokah

Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Tabriik adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”.

Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya[2]. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung dua makna di atas.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”.[3]

Seluruh Kebaikan Berasal dari Allah

Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan dari orang lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu bahwa seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

”Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah.[4]

Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,

وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ

“Seluruh kebaikan di tangan-Mu.” (HR. Muslim no. 771)

Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Dan nikmat ini sungguh teramat banyak, sangat mustahil seseorang menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ

“Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali Imron: 73).

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).

Kita telah mengetahui bahwa setiap kebaikan dan nikmat, itu berasal dari Allah. Inilah yang disebut dengan barokah. Maka ini menunjukkan bahwa seluruh barokah, berkah atau keberkahan berasal dari Allah semata.[5]


Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-GK, 27 Sya’ban 1431 H (7 Agustus 2010)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.rumaysho.com/ 

Ujian Hidup

Tidak ada manusia yang luput dari cobaan hidup. Tidak ada keberhasilan yang tidak melewati ujian dan rintangan. Semakin bertambah usia seseorang, semakin kencang pula angin kehidupan berhembus untuk menguji ketegaran dan keimanannya. Saat jabatan diamanatkan di pundak seseorang, saat itu pula cobaan dan godaan datang menghadang silih berganti, untuk menguji apakah ia betul-betul layak mengemban amanat jabatan tersebut dengan benar-benar bisa menjaganya.

Hidup dan mati memang diciptakan Sang Pemilik semesta sebagai wahana ujian untuk memilih siapa makhluk-Nya yang terbaik. Mengapa harus repot-repot menjadi orang yang terbaik? Karena hal itulah tujuan hidup manusia. Jika manusia tidak memiliki tujuan hidup yang jelas dan luhur, selamanya ia akan didera kebingungan dan kegelisahan, tidak ubahnya seperti orang tersesat di tengah hutan dan tidak tahu ke mana jalan pulang. Jika manusia tidak lagi memikirkan tujuan hidupnya, berarti ia merendahkan dirinya menjadi seperti benda, hewan, atau tumbuhan.
Makna terbaik bukan hanya dalam aspek jabatan, harta, ilmu, atau rupa fisik. Lebih dari itu, terbaik juga berarti tindakan yang bermanfaat seluas-luasnya bagi banyak orang. Terbaik juga berarti seberapa jauh kita mampu meneladani sifat Sang Pencipta Yang Maha Sempurna. Pada gilirannya, memperoleh predikat terbaik berarti memperoleh hadiah kebahagiaan di dunia dan akhirat yang diberikan oleh Allah.

Ujian hidup bukanlah bentuk kekejaman dari Sang Pencipta. Sebagaimana ujian sekolah bukanlah bentuk hukuman sewenang-wenang dari sang guru untuk murid-muridnya. atau bahkan mahasiswa yang di hadapkan dengan UTS or UAS, karena memang sebelumnya sudah ada pelajaran or mata kuliah yang telah diberikan oleh sang guru atau dosen. Begitu pula ujian hidup. Allah sudah membekali manusia dengan akal, hati nurani, kitab suci, dan wejangan para Nabi-Nya. Jika bekal itu sudah diberikan, maka pada saatnya ujian itu akan datang.
Setiap ujian tentu tidak mudah. Kalau semua ujian pasti bisa dijawab, tidak perlu ada ujian. Kalau tidak ada ujian, nyaris tidak ada bedanya orang yang tekun belajar dengan orang yang pemalas. Kalau tidak ada ujian, tidak diketahui siapa yang terbaik. Jika tidak diketahui siapa yang terbaik, tidak akan ada bedanya antara koruptor dengan maling ayam; tak akan ada bedanya antara orang yang taat dengan orang yang khianat.

Allah berikan ujian adalah karna hendak menaikkan derajat seseorang di sisi_Nya di Akhirat kelak. Ketinggian darjat di sisi Allah ini adalah untuk orang-orang yang taat dengan Allah ketika di dunia . Di dunia dia banyak berbuat amal soleh, amal kebajikan tapi masih lagi Allah beri ujian yang berat kepadanya. Ini tidak lain tidak bukan ialah untuk meninggikan derajatnya di Akhirat kerana ketabahannya dan kesabarannya menghadapi ujia. Ujian paling berat kita lihat dalam sejarah seperti yang dikisahkan oleh para Nabi dan Rasul yang mana ia sangattabah dan ikhlas dalam menhadapi ujian tersebut.

Manusia apabila ditimpa musibah sebagai ujian hidupnya, dia akan mudah insaf akan kesalahan yang telah dilakukan. Jika tidak dia akan mudah lupa daratan, merasa diri hebat, tidak mau terima pendapat orang lain. Tetapi jika seseorang itu tidak tahan dengan ujian yang dihadapkannya, ia akan hilang pertimbangan dalam ujian itu.

Di sisi lain, memang tak ada manusia yang sempurna. Setiap orang bisa saja tergelincir dalam sebuah kesalahan. Setiap orang bisa saja menjadi tertutup mata hatinya sehingga sebuah keburukan seolah terlihat sebagai kebaikan. Namun, orang yang arif akan segera menyadari kesalahannya, sehingga bisa kembali ke jalan yang semestinya ia tapaki. Bukankah Allah juga Maha Pemaaf bagi para hamba-Nya yang banyak
dosa?

Hidup memang banyak rintangan tp moga aja kita sebagai hamba_Nya bisa menhadapi ujian dg baik . . Hidup ini indah kalau kita syukur,tetap semngat jalani hidup ini. 

Macam-macam Hati

Hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Hati ini tidak akan terlepas dari tanggung jawab yang dilakukannya kelak di akhirat, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya." (Al-Isra: 36).

Dalam tubuh manusia kedudukan hati dengan anggota yang lainnya adalah ibarat seorang raja dengan seluruh bala tentara dan rakyatnya, yang semuanya tunduk di bawah kekuasaan dan perintahnya, dan bekerja sesuai dengan apa yang dikehendakinya.

"Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semuanya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka akan jeleklah semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

1. Hati yang sehat

Yaitu hati yang terbebas dari berbagai penyakit hati. Firman Allah: "(Yaitu) di hari yang harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat kecuali siapa yang datang mengharap Allah dengan membawa hati yang selamat." (Asy-Syura: 88-89).

Ayat ini sangatlah mengesankan, di sela-sela harta benda yang diburu dan dikejar-kejar orang, dan anak-anak laki-laki yang sukses dengan materinya dan sangat dibanggakan, ternyata itu semua tidak akan memberi manfaat kecuali siapa yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.

Yaitu selamat dari semua nafsu syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah dan laranganNya, dan dari semua syubhat yang memalingkan dari kebenaran, selamat dari peribadatan dan penghambaan diri kepada selain Allah, selamat dari berhukum dengan hukum yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya, dan mengikhlaskan seluruh peribadatannya hanya karena Allah, iradahnya, kecintaannya, tawakkalnya, taubatnya, ibadah dalam bentuk sembelihannya, takutnya, raja'nya, diikhlaskannya semua amal hanya kepada Allah.

Apabila ia mencintai maka cintanya karena Allah,
apabila ia membenci maka bencinya karena Allah,
apabila ia memberi maka memberinya karena Allah,
apabila menolak maka menolaknya karena Allah.
Dan tidak hanya cukup dengan ini, sampai ia berlepas diri dari semua bentuk keterikatan dan berhukum yang menyelisihi contoh dari Rasulullah. Maka hatinya sangat tertarik dengan ikatan yang kuat atas dasar mengikuti jejak langkah Rasulullah semata, dan tidak mendahulukan yang lainnya baik ucapan maupun perbuatannya.

Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1).

2. Hati yang mati

Yaitu kebalikan dari hati yang sehat, hati yang tidak mengenal dengan Rabbnya, tidak melakukan ibadah sesuai dengan apa yang perintahkanNya, dicintaiNya dan diridhaiNya. Bahkan selalu memperturutkan nafsu dan syahwatnya serta kenikmatan dan hingar bingarnya dunia, walaupun ia tahu bahwa itu amatlah dimurkai oleh Allah dan dibenciNya.

Ia tidak pernah peduli tatkala memuaskan diri dengan nafsu syahwatnya itu diridhaiNya atau dimurkaiNya, dan ia menghambakan diri dalam segala bentuk kepada selain Allah.

Apabila ia mencintai maka cintanya karena nafsunya, apabila ia membenci maka bencinya karena nafsunya, apabila ia memberi maka itu karena nafsunya, apabila ia menolak maka tolakannya atas dasar nafsunya, maka nafsunya sangat berperan dalam dirinya, dan lebih ia cintai daripada ridha Allah.

Orang yang demikian menjadikan hawa nafsu sebagai imamnya, syahwat sebagai komandannya, kebodohan menjadi sopirnya, dan kelalaian sebagai tunggangan dan kendaraannya. Pikirannya hanya untuk mendapatkan dunia yang menipu ini dan dibuat mabuk oleh nafsu untuk mendapatkannya,

ia tidak pernah meminta kepada Allah kecuali dari tempat yang jauh. Tidak membutuhkan nasihat-nasihat dan selalu mengikuti langkah-langkah syetan yang selalu merayu dan menggodanya.

Maka bergaul dengan orang seperti ini akan mencelakakan kita, berkawan dengannya akan meracuni kita, dan duduk dengannya akan membinasakan kita.

3. Hati Yang Sakit

Yaitu hati yang hidup tapi ada penyakitnya, hati orang yang taat terhadap perintah-perintah Allah tetapi kadangkala juga berbuat maksiat, dan kadang-kadang salah satu di antara keduanya saling berusaha untuk mengalahkannya.

Hati jenis ini, mencintai Allah, iman kepadaNya beribadah kepadaNya dengan ikhlas dan tawakkal kepadaNya, itu semua selalu dilakukannya tetapi ia juga mencintai nafsu syahwat dan kadang-kadang sangat berperan dalam hatinya serta berusaha untuk mendapatkannya.

Hasad, sombong (dalam beribadah kepada Allah), ujub, dan terombang-ambing antara dua keinginan yaitu keinginan terhadap kenikmatan kehidupan akhirat serta keinginan untuk mendapatkan gemerlapnya dunia.Maka hati yang pertama hidup, tumbuh, khusyu' dan yang kedua layu kemudian mati. Adapun yang ketiga dalam keadaan tidak menentu, apakah akan hidup ataukah akan mati. Kemudian banyak sekali orang yang hatinya sakit dan sakitnya bahkan semakin parah, tetapi tidak merasa kalau hatinya sakit, bahkan sekalipun telah mati hatinya tetapi tidak tahu kalau hatinya telah mati. 


Kamis, 27 Januari 2011

Jangan Terpikat dengan Dunia

Oleh : Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia1. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka.

Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah2.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia3?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

________________
FooteNote
1 Mereka yang tertipu dengan dunia.

2 Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ

“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

3 Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)


Read more: http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/mereka-yang-tertipu-dengan-dunia.html#ixzz1CFLfkmTW

Bahayanya Gambar Patung dalam Pandangan Islam

Bismillah,
Islam bangkit untuk seluruh umat manusia agar beribadah kepada Allah saja, dan menghindarkannya dari penyembahan kepada selain Allah seperti para wali dan orang sholeh yang dilukiskan dalam patung dan arca-arca. Ajakan seperti ini sudah lama terjadi sejak Allah mengutus Rasul-rasulnya untuk memberikan petunjuk kepada manusia.

FirmanNya :

ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت

“Sesunguhnya kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (yang berseru) sembahlah Allah dan tinggalkan thaghut itu.” (An Nahl : 36).

Thaghut : ialah segala sesuatu selain Allah yang disembah dengan rela hatinya.

Patung-patung itu telah disebut dalam surah Nuh. Dalil yang paling jelas mengenai patung sebagai gambar orang shalih adalah hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah :

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا(23) وقد أضلوا كثيرا

Dan mereka berkata : “Dan jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula meninggalkan “wadd, suwa, yaghuts, ya’uq dan nasr, dan sungguh mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia.” (Nh : 23-24).

Kata Ibnu Abbas : “Itu semua adalah nama-nama orang shaleh dari kaum Nabi Nuh u, ketika mereka mati setan membisiki mereka agar membuat patung-patung mereka di tempat-tempat duduk mereka dan memberi nama patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Kaum itu melaksanakannya. Pada waktu itu belum disembah, setelah mereka mati dan ilmu sudah dilupakan, barulah patung-patung itu disembah orang.”

Kisah ini memberikan pengertian bahwa sebab penyembahan selain Allah, adalah patung-patung pemimpin suatu kaum. Banyak orang yang beranggapan bahwa patung, gambar-gambar itu halal karena pada saat ini tidak ada lagi yang menyembah patung.

Pendapat itu dapat dibantah sebagai berikut :
1. Penyembahan patung masih ada pada saat ini, yaitu gambar Isa dan bunda Maryam di gereja-gereja sehiggga orang Kristen menundukkan kepala kepada salib. Banyak juga gambar Isa itu dijual dengan harga tinggi untuk diagungkan, digantungkan di rumah-rumah dan sebagainya.

2. Patung para pemimpin negara maju dalam materi tetapi mundur di bidang rohani, bila lewat di depan patung membuka topinya sambil membungkukkan punggungnya seperti George Washington di Amerika, patung Napoleon di prancis, patung Lenin dan Stalin di rusia dan lain-lain.
Ide membuat patung ini menjalar ke negara-negara Arab. Mereka membuat patung di pinggir-pinggir jalan meniru orang kafir dan patung-patung itu masih dipasang di negeri arab maupun di negeri Islam lainnya.
(Di Indonesia, gambar dan patung dianggap bagian dari pelestarian budaya, red).

Alangkah baiknya jika dana untuk membuat patung itu dipergunakan untuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit santunan sosial yang lebih bermanfaat.

3. Patung-patung semacam itu lama-kelamaan akan disembah orang seperti yang terjadi di Eropa dan Turki. Mereka sebenarnya telah ketularan warisan kaum Nabi Nuh yang mempelopori pembuatan patung pamimpin-pemimpin mereka yang pada mulanya hanya sekedar kenang-kenangan penghormatan kepada pemimpinnya yang akhirnya berubah mejadi sesembahan.

4. Rasululloh Shalallahu 'alaihi wassalam sungguh telah memerintahkan Ali bin Abi Tholib dengan sabdanya :

لا تدع تمثالا إلا طمسته ولا قبرا مشرفا إلا سويته. رواه مسلم.

“Jangan kau biarkan patung-patung itu sebelum kau hancurkan dan jangan pula kau tinggalkan kuburan yang menggunduk tinggi sebelum kau ratakan.” (riwayat Muslim).

Bahaya Gambar dan Patung
Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali ada bahaya yang mengancam agama, akhlak dan harta manusia. Orang Islam yang sejati adalah yang tanpa reserve menerima perintah Allah dan Rasulnya meskipun belum mengerti sebab atau alasan perintah Allah tersebut.

Agama melarang patung dan gambar karena banyak mendatangkan bahaya seperti :
1. Dalam agama dan aqidah : patung dan gambar merusak aqidah orang banyak seperti orang Kristen menyembah patung Isa dan bunda Maryam serta salib. Orang Eropa dan Rusia menyembah patung pemimpin mereka, menghormati dan mengagungkannya. Orang-orang Islam telah meniru orang eropa membuat patung pemimpin mereka baik di negeri Islam Arab maupun bukan Arab.

Para Ahli tariqat dan tasawwuf kemudian membuat pula gambar guru-guru mereka yang diletakkan di muka mereka pada waktu shalat dengan maksud menerima bantuan kepada patung atau gambar untuk mengkhusyu’kan shalatnya.

Demikian pula yang diperbuat oleh para pencinta nyanyian. Mereka menggantungkan gambar para penyanyi untuk diagungkan. Begitu pula para penyiar radio pada waktu perang dengan yahudi tahun 1967 berteriak :
“maju terus ke depan, penari fulan dan fulanah bersamamu,” seharusnya ia berseru :
“Maju terus, Allah bersamamu.”
Karena itu maka tentara Arab kalah total, sebab Allah tidak membantu mereka. Demikian juga penari-penyanyi yang mereka sebut-sebut pun tidak kunjung memberikan bantuan apapun.

Harapanku semoga bangsa Arab mengambil pelajaran dari kakalahan ini dan segera bertaubat agar Allah menolong mereka.

2. Adapun bahaya gambar dalam merusak akhlak generasi muda sangat nyata. Di jalan-jalan utama terpampang gambar-gambar penari telanjang yang memang sangat digandrungi oleh mereka, sehingga dengan sembunyi atau terang-terangan mereka berbuat keji yang merusak akhlak mereka. Mereka sudah tidak lagi mau memikirkan agama dan negara, jiwa kesucian, kehormatan dan jihad sudah luntur dari jiwa mereka.

Demikianlah gambar-gambar itu menghias poster-poster, majalah dan surat kabar, buku iklan bahkan di pakaian pun gambar porno itu sudah dipasang orang, belum lagi apa yang disebut blue film.

Ada lagi model karikatur yang memperjelek gambar makhluk Allah dengan hidung panjang, kuping lebar dan sebagainya, padahal Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling bagus.

3. Adapun secara material bahaya gambar sudah jelas dan tidak perlu dalil lagi. Patung-patung itu dibuat dengan biaya mahal sampai jutaan rupiah, dan banyak orang membelinya untuk digantung di dinding rumah, demikian pula lukisan-lukidan orang tua yang telah meninggal dibuat dengan biaya yang tidak sedikit, yang apabila disedekahkan dengan niat agar pahalanya sampai kepada almarhum akan lebih bermanfaat baginya.
Yang lebih jelek lagi adalah gambar seorang laki-laki bersama isterinya waktu malam perkawinan dipasang di rumah agar orang melihatnya. Ini seakan-akan isterinya itu bukan miliknya sendiri tetapi milik setiap orang yang melihat.

Apakah Hukumnya Gambar seperti patung

Sebagian orang menyangka bahwa hukum haram itu untuk patung saja seperti yang terdapat pada zaman jahiliyah, tidak mencakup hukum gambar. Pendapat ini asing sekali karena seolah-olah ia belum pernah membaca nash-nash yang mengharamkan gambar seperti di bawah ini :

1-
عن عائشة رضي الله عنها أنها اشترت نمرقة فيها تصاوير فلما رآها رسول الله  قام على الباب لم يدخل فعرفت في وجهه الكراهية فقالت : يا رسول الله أتوب إلى الله وإلى رسوله فبماذا أذنبت فقال رسول الله r : ما بال هذه النمرقة فقالت : اشتريتها لتقعد عليها وتوسدها فقال رسول الله r : إن أصحاب هذه التصاوير يعذبون يوم القيامة ويقال لهم أحيوا ما خلقتم ثم قال : إن البيت الذي فيه الصور لا تدخله الملائكة . متفق عليه

“Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia membeli bantal kecil buat sandaran yang ada gambarnya-gambarnya. Ketika Rasululloh Shalallahu 'alaihi wassalam melihatnya beliau berdiri di pintu tidak mau masuk maka ia mengetahui ada tanda kebencian di muka Rasululloh dari Aisyah pun berkata : aku bertaubat kepada Allah dan Rasulnya, apakah gerangan dosa yang telah kuperbuat? Rasulullah menjawab : bagaimana halnya bantal itu? Aisyah menjawab, Saya membelinya agar engkau duduk dan bersandar, kata Rasulullah 'Sesungguhnya orang yang membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat seraya dikatakan kepada mereka : hidupkanlah gambar-gambar yang kamu buat itu. Sungguh rumah yang ada gambar ini di dalamnya tidak dimasuki Malaikat.” (Riwayat Bukhari Muslim)

2.Sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pula :

أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله (الرسام والمصورن يشابهون خلق الله). متفق عليه.

“Manusia yang paling pedih siksaannya di hari kiamat ialah yang meniru Allah menciptakan makhluk (pelukis, penggambar adalah peniru Allah dalam menciptakan makhluknya).” (Riwayat Bukhari Muslim)

3. Sabda Shalallahu 'alaihi wassalam

أن النبي  لما رأى الصور في البيت لم يدخل حتى محيت. رواه البخاري

“Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam ketika melihat gambar di rumah tidak mau masuk sebelum gambar itu dihapus” (riwayat Bukhari).

4. Sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

نهى الرسول عن الصور في البيت ونهى الرجل أن يصنع ذلك. رواه الترمذي

“Rasulullah melarang gambar-gambar di rumah dan melarang orang berbuat demikian.” (riwayat Turmudzi).

Gambar dan Patung yang diperbolehkan
1. Gambar dan lukisan pohon, binatang matahari, bulan, gunung, batu, laut, sungai, tempat-tempat suci seperti masjid, Ka’bah yang tidak memuat gambar orang dan binatang, pemandangan yang indah. Dalilnya adalah kata Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu :

إن كنت لا بد فاعلا فاصنع الشجر وما لا نفس له. رواه البخاري

“Apabila anda harus membuat gambar, gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak ada nyawanya.” (riwayat Bukari).

2. Foto yang dipasang di kartu pengenal seperti paspor, SIM, dan lain-lain yang mengharuskan adanya foto. Semuanya itu dibolehkan karena darurat (keperluan yang tidak bisa ditinggalkan).

3. Foto pembunuh, pencuri, penjahat agar mereka dapat ditangkap untuk dihukum.

4. Barang mainan anak perempuan yang dibuat dari kain sebangsa boneka berupa anak kecil yang dipakaikan baju dan sebagainya dengan maksud untuk mendidik anak perempuan rasa kasih sayang terhadap anak kecil. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata :

كنت ألعب بالبنات عند النبي. رواه البخاري

“Saya bermain-main dengan boneka berbentuk anak perempuan di depan Nabi r.” (riwayat Bukhari).

Tidak boleh membeli mainan negara asing untuk anak-anak, terutama mainan yang membuka aurat sebab anak-anak akan menirunya yang berakibat merusak akhlak serta pemborosan dengan membelanjakan kekayaan untuk negara asing dan negara yahudi.

5. Diperbolehkan gambar yang dipotong kepalanya sehingga tidak menggambarkan makhluk bernyawa lagi seperti benda mati.
Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah mengenai gambar : “Perintahkanlah orang untuk memotong kepala gambar itu, dan perintahkanlah untuk memotong kain penutup (yang ada gambarnya) supaya dijadikan dua bantal yang dapat diduduki.” (shahih, riwayat Abu Daud).



[Disalin dari tulisan Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu, Rasa'ilut Taujihat Al Islamiyah. Edisi Indonesia : Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat. Diterbitkan Depag Saudi Arabia]

Sumber :  http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=323

Silsilah Keilmuan Ahlussunnah dari Jaman ke Jaman

Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda


  إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ


“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” [HR.Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albani] 

Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673]

Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang banyak meriwayatkan Hadist :

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu                       (5374 Hadits)
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu            (2630 Hadits)
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu                     (2286 Hadits) 
Umu’l Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha   (2210 Hadits) 
Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu        (1660 Hadits) 
Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu             (1540 Hadits) 
Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu ‘anhu         (1170 Hadits)

Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang banyak berfatwa :

Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu
Umu’l Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu

Tabi’in  (Generasi setelah Sahabat) :

Ka`ab bin Mati` .............................  (wafat 32 H) (652 M) 
Alqamah ........................................  (wafat 62 H) (681 M)
Masyruq bin al Ajda'.......................  (wafat 63 H) (682 M)
Muhammad Ibnul Hanafiyyah......    (wafat 80 H) (700 M)
Muh. bin al Hanafiyah bin Ali Abi Thalib..(wafat 81 H) (701 M)
Sa’id bin Musayyab…………..….......    (wafat 90 H) (709 M)
Urwah bin Zubair…………..…….......    (wafat 94 H) (713 M)
Ali bin Husain Zainal Abidin….......    (wafat 93 H) (712 M)
Sa’id bin Jubair ...............................(wafat 95 H) (715 M)
Ibrahim an-Nakha’iy ...................... (wafat 96 H) (716 M)
Zaid bin Wahab .............................  (wafat 96 H) (714 M)
Abdullah bin Muhairaz/Ibnu Janadah...(wafat 99 H) (718 M) 
Umar bin Abdul Aziz………….....    (wafat 101 H) (720 M)
Atha' bin Yasar ..............................  (wafat 103 H) (722 M) 
Amir bin Syarahil ............................  (wafat 103 H) (722 M)
Asy Sya’by .................................... (wafat 104 H) (722 M)
Mujahid ibn Jabr............................(wafat 104 H) (722 M)
Ikrimah .......................................... (wafat 105 H) (724 M)
Ubaidillah bin Abdullah bin Umar... (wafat 106 H) (725 M)
Salim bin Abdullah bin Umar .......... (wafat 106 H) (725 M)
Thawus bin Kaisan al Yamani ........... (wafat 106 H) (725 M)
Qasim bin Muh. bin abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H) (725 M)
Sulaiman bin Yasar al Madani .........  (wafat 107 H) (726 M)
Al Hasan Al Bashri………..…....…    (wafat 110 H) (729 M)
Muh.  bin Sirrin………................    (wafat 110 H) (729 M)
Raja` bin Haiwah .........................    (wafat 112 H) (731 M)
Thalhah bin Musharaf.....................  (wafat 112 H) (731 M)
Atha' bin Rabah ................................ (wafat 114 H) (732 M)
Abu Ja`far Al-Baqir .......................   (wafat 114 H) (733 M)
Abu Bakar bin Amr bin Hazm...........  (wafat 117 H) (735 M)
Maimun bin Mahran ........................   (wafat 117 H) (736 M)
Ibnu Abi Malikah ..........................    (wafat 117 H) (736 M)
Ubadah bin Nusay al Kindi ...............  (wafat 118 H) (737 M)
Nafi’ bin Hurmuz .............................. (wafat 117 H) (735 M)
Qotadah As Sudusy …………............    (wafat 118 H) (736 M) 
Muh bin Syihab Az Zuhri……............ (wafat 125 H) (743 M)
Amr bin Dinar ................................    (wafat 126 H) (744 M)
Abdul Karim bin Malik al Harrani.....  (wafat 127 H) (745 M)
Abu Mashar Abdul A`la ad Damsyiqi...(wafat 128 H) (746 M)
Yahya bin Abi Katsir al Yamani.........  (wafat 129 H) (747 M)
Ayyub as-Sakhtiyani  ....................... .(wafat 131 H) (748 M)
Muh. bin Al-Munkadir .....................  (wafat 131 H) (748 M)
Abdullah bin Thawus Al-Yamani ......  (wafat 132 H) (750 M)
Umar bin Dzar Al-Murhabi ..............(wafat 135 H) (752 M)
Zaid bin Aslam Al Madani ............... (wafat 136 H) (754 M)
Rabi`ah Ar Ra-i..............................  (wafat 136 H) (754 M)
Sulaiman At-Taimy ........................ .(wafat 143 H) (760 M)
Ja`far bin Muhammad Ash-Shadiq .....(wafat 143 H) (761 M)
Abdullah bin Syaudzab Al Khurrasani..(wafat 144 H) (762 M)
Al A’masy .....................................     (wafat 148 H) (766 M)
Az Zubaidi ....................................      (wafat 148 H) (766 M)
Ibnu Juraij.......................................  (wafat 150 H) (768 M)
Abu Hanifah An Nu’man  ….... (wafat 150 H) (767 M)...Hanafi
Abdurrahman bin Yazid bin Jabir......(wafat 153 H) (770 M)
Ma'mar bin Rosyid .........................   (wafat 154 H) (770 M)
Syu’bah ibnu A-Hajjaj ......................(wafat 160 H) (777 M)
Abdul Aziz bin Salman Al Majisyun ...(wafat 164 H) (781 M)
Sa`id bin Abdul Aziz At Tanwikhi...... (wafat 167 H) (784 M)
Hammad bin Salamah........................ (wafat 167 H) (784 M) 

Tabi’ut tabi’in (Generasi setelah Tabi’in), tokoh-tokoh mereka adalah :

Muh. bin Muslim Ath Thaifi...........  (wafat 177 H) (794 M) 
Malik bin Annas  ……….…....      (wafat 179 H) (796 M)...Maliki
Nafi` bin Umar al Jamhi al Makki... (wafat 179 H) (796 M)
Sallaam bin Sulaim al Kufi ...........  (wafat 179 H) (796 M)
Hammad bin Zaid.........................  (wafat 179 H) (796 M)
Al-Qadhi Abu Yusuf ...................   (wafat 182 H) (798 M)
Abu Ishaq al Fazari ..................... (wafat 185 H) (802 M) 
Fudhail bin 'Iyadh .................   (wafat 187 H) (803 M)
Al Auza’i………...…………..……….     (wafat 198 H) (814 M)
Sufyan Ats Tsauri……………..       (wafat 161 H) (778 M)
Asy Syaibani ............................      (wafat 189 H) (804 M)
Yahya bin Salim Ath Thaifi.........   (wafat 195 H) (811 M)
Sufyan bin Uyainah……………           (wafat 198 H) (814 M)
Ismail bin Ulayyah………………        (wafat 198 H) (814 M)
Abdurrahman bin Mahdi ............. (wafat 198 H) (814 M)
Al Laits bin Sa’ad…………...……        (wafat 175 H) (792 M)

Generasi setelah Tabi’ut tabi’in ,  diantaranya :

Abdullah ibnu Al Mubarak…..   (wafat 181 H) (798 M)
Waqi’ bin Jarrah……….….....………      (wafat 197 H) (813 M)
Abdurrahman bin Mahdi………....      (wafat 198 H) (814 M)
Yahya bin Said Al Qaththan……...       (wafat 198 H) (814 M)
Ath Thoyalisi ................................   (wafat 204 H) (820 M)
Muh. bin Idris Asy Syafi’i  …   (wafat 204 H) (820 M)...Syafi’i
Yazid bin Harun al Wasithi .............(wafat 206 H) (822 M)
'Abdurrazaq bin Hammam ..........   (wafat 211 H) (827 M)
Abdul Mulk bin Abdul Aziz ...........(wafat 212 H) (828 M)
Sa'ad bin Rasyid .......................... (wafat 213 H) (828 M)
Addullah bin Yazid al Maqri al Makki.(wafat 213 H) (829 M)
Abdullah bin Zubair al Humaidi al Makki .(wafat 219 H) (835 M)
Al Humaidi ..................................  (wafat 219 H) (835 M)
Affan bin Muslim…………....……..        (wafat 219 H) (834 M), dan lain-lain.

Kemudian mereka yang menjalani manhaj mereka, diantaranya :

Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam......... (wafat 220H) (835 M)
Isma`il bin Abi Uwais al Madini .........   (wafat 226 H) (841 M)
Ahmad bin Yunus .............................  (wafat 227 H) (841 M) 
Sa'd bin Mani' al Hasyimi ....................(wafat 230 H) (845 M)
Yahya bin Ma’in…………….......…..…...   (wafat 233 H) (848 M)
Ali Ibnul Madini……………….......…....   (wafat 234 H) (849 M)
Ibnu Abi Syaibah ……………...........…    (wafat 235 H) (850 M)
Ibnu Qutaibah ................................    (wafat 236 H) (850 M)
Ishaq bin Rahawaih ..........................  (wafat 238 H) (852 M)
Muh. bin Sulaiman al Mashishi..........   (wafat 240 H) (855 M)
Ahmad bin Hambal  ……......….    (wafat 241 H) (856 M)...  Hambali

Kemudian murid-murid mereka seperti :

Muh.bin Aslam Ath-Thusi ........... (wafat 242 H) (856 M)
Ad Darimy…………………......…….    (wafat 255 H) (869 M)
Al Bukhari ۩………………...……      (wafat 256 H) (870 M)
Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan ...(wafat 258 H) (871 M)
Muslim  ۩................................    (wafat 261 H) (875 M)
Al-Muzanniy ............................... (wafat 264 H) (878 M)           
Abu Zur’ah………………...…....…        (wafat 264 H) (878 M)
Abu Dawud  ۩……………......           (wafat 275 H) (889 M)
Abu Hatim Ar Razy….……....            (wafat 277 H) (890 M)
At Tirmidzi  ۩…………..…………     (wafat 279 H) (892 M)
Abu Bakar bin Ani Khaitsamah....  (wafat 279 H) (892 M)
Ibrahim al Harbi.......................   (wafat 285 H) (899 M) 
Abu Bakr 'Amr bin Abi 'Ashim ...    (wafat 287 H) (900 M)
Ats Tsa'labi  ................................  (wafat 291 H) (903 M)
Al Bazzar....................................  (wafat 292 H) (905 M)
Abu Mush`ab bin Abi Bakar Az-Zuhri ..(wafat 292 H) (905 M)
Al-Marwazi ................................. (wafat 294 H) (907 M)
Al Qasim as Sarqisthi..............      (wafat 302 H) (915 M)
An Nasa’i  ۩………………….....…      (wafat 303 H) (915 M)
Ibnu Hibban Al Busty………......     (wafat 304 H) (917 M)
Abu Nashr bin Sallam Al-Faaqih .. (wafat 305 H) (917 M)
Ibnul Jarud ..............................    (wafat 307 H) (920 M)
Abu Ya'la al Mushili .....................(wafat 307 H) (920 M)
Ar Ruyani ...................................(wafat 307 H) (920 M), dan lain-lain

Orang-orang generasi berikutnya yg berjalan pada manhaj mereka :

Ibnu Jarir At Thabari……….......    (wafat 310 H) (922 M)
Ibnul Khuzaimah…………........…   (wafat 311 H) (923 M)
Al-Khallal .......................................   (wafat 311 H) (923 M)
As Siraj Abul Abbas .......................   (wafat 313 H) (926 M)
'Abu Awanah ...............................      (wafat 316 H) (929 M)
Ibnu Abi Dawud ..........................       (wafat 316 H) (929 M)
Al Asfarayini ..................................   (wafat 316 H) (928 M)
Abu Bisyr Ad Daulaby ....................  (wafat 320 H) (932 M)
Ath Thahawy........................           (wafat 321 H) (933 M)
Al 'Uqaili ....................................        (wafat 322 H) (934 M)
Abu Ja'far al Buthuri ar Razzaz..........(wafat 329 H) (941 M)
Muhammad Ibnu Sa’ad .................... (wafat 330 H) (941 M)
Abul Hasan al Asy 'ary..........          (wafat 330 H) (941 M)
Al Barbahary ...........................      (wafat 329 H) (940 M)
Ibnu Majah  ۩……………..…......          (wafat 333 H) (944 M)
Ibrahim bin Syaiban .....................     (wafat 337 H) (948 M)
At Thabarany………….….............         (wafat 360 H) (970 M)
Al Ajurry .....................................     (wafat 360 H) (970 M)
Ibnul Hamman Al-Hanafi ................   (wafat 361 H) (971 M)
  Bid'ah Maulid Nabi pertama diadakan di Mesir (oleh Mu'iz Lidinillah dari Daulah Fatimiyah, 362 H)  
As-Sajastani.....................................  (wafat 363 H) (973 M)
Ibnu As Sunni……………....…...........    (wafat 364 H) (974 M)
Ibnu 'Adi.....................................       (wafat 365 H) (976 M)
Abus Syaikh Ibni Hayyan...............     (wafat 369 H) (980 M)
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif ..(wafat 371 H) (981 M)
Ad Daruquthni……………...……....      (wafat 385 H) (995 M)
Abu Hafs Ibn Syahin .........................  (wafat 385 H) (995 M)
Ibnu Baththah al Ukbari ............  (wafat 387 H) (997 M)
Al Khaththabi.................................    (wafat 388 H) (998 M)
Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki ........ (wafat 390 H) (999 M)

                                                                                     Tahun 1000 M             

Al Mukhallash ...............................      (wafat 393 H) (1003 M) 
Ibnu Mandah .............................      (wafat 395 H) (1005 M) 
Ibnu Abu Zamanain ........................   (wafat 399 H) (1009 M)
Al-Baqillani ....................................   (wafat 403 H) (1012 M) 
Al Hakim………………......…....………    (wafat 405 H) (1014 M)
Tamam ar Razi ...............................     (wafat 414 H) (1024 M)
Al Laalika-iy ..............................         (wafat 418 H) (1027 M)
Ar Raghib al Ashfahany ............           (wafat 425 H) (1033 M)
As Sahmi al Jurjani.......................       (wafat 427 H)  (1036 M)
Al-Baghdadi ................................       (wafat 429 H) (1037 M)
Abu Nu'aim .................................      (wafat 430 H) (1039 M)
Abu Bisyran.................................       (wafat 430 H) (1039 M)
Utsman bin sa'id............................      (wafat 444 H) (1053 M)
Ash Shabuni ..................................    (wafat 449 H) (1057 M)
Al Qudaa-i ....................................    (wafat 454 H) (1062 M)
Abu Muhammad bin  Hazm…........       (wafat 456 H) (1064 M)
Abul Fadhl al-Maqri’......................      (wafat 454 H) (1062 M)
Al Baihaqy…………...….......………….   (wafat 458 H) (1066 M)
Abul Qasim As-Sialari ..................     (wafat 460 H) (1067 M)
Ibnul Abdil Barr………….....………    (wafat 463 H) (1071 M)
Al Khatib Al Baghdady……….........      (wafat 463 H) (1071 M)
Al Baji..........................................       (wafat 477 H)(1085 M)
Al Harawi ....................................      (wafat 481 H) (1089 M)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani ...........    (wafat 489 H) (1096 M)
Abu Hamid Al Ghazali ...............   (wafat 505 H) (1111 M)
Ad Dailamy .................................      (wafat 509 H) (1115 M)
Al Baghawi .................................       (wafat 516 H) (1122 M)
Ath Thurtusi ...............................      (wafat 530 H) (1136 M)
Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i .... (wafat 532 H) (1137 M)
Ibnul Arabi (bukan Ibnu Arabi sang sufi). (wafat 543 H) (1149 M)
Al Qadhi 'Iyadh ........................     (wafat 544 H) (1150 M)
Asy Syahrasytany .......................      (wafat 548 H) (1153 M)
Abdul Qadir Jailani………….......      (wafat 561 H) (1166 M)
Ibnu ‘Asakir………………..........…...      (wafat 571 H) (1176 M)
'Abdul Haq al Isybili.......................    (wafat 581 H) (1186 M)
Al-Haazimi ...................................    (wafat 584 H) (1189 M)
Salahudin al-Ayyubi ......................   (wafat 589H) (1194 M)
● Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani....   (wafat 593 H) (1196 M)
Ibnul Jauzi .....................................   (wafat 597 H) (1201 M)
'Abdul Ghani al Maqdisy.................   (wafat 600 H) (1204 M)
Ibnu Al Atsir……………….................   (wafat 606 H) (1210 M)
Abu Hafsh al Mu-addib.....................  (wafat 607 H) (1211 M)
Ibnul Qudamah……....……...…..…….    (wafat 620 H) (1223 M)
Asy Sayzhuri ..................................  (wafat 642 H) (1244 M)
Adh Dhiya' al Maqdisy...................... (wafat 643 H) (1246 M)
Ash Shaghani..................................  (wafat 650H)  (1252 M)
Al Mundziri……………...….......……      (wafat 656 H) (1258 M)
Al Izz bin Abdussalam ................     (wafat 660 H) (1261 M)
Abu Syammah Asy Syafi'i ............    (wafat 665 H) (1266 M)
Al Qurthuby...............................  (wafat 671 H) (1273 M)
An Nawawy…………..…….....…....     (wafat 676 H) (1277 M)
Abi Hamzah Al-Azdi Al-Andalusi ....  (wafat 695 H) (1295 M)
Ibnu Daqiq Al-led ……...……..…..…    (wafat 702 H) (1303 M)
Ibnul Manzhur ..............................  (wafat 711 H) (1312 M)
Syamsyuddin Ubaidillah Ad Dimasyqi..(wafat 727 H) (1326 M)
Ibnu Taimiyyah………………......   (wafat 728 H) (1327 M)
Ibn Sayyid .....................................   (wafat 734 H) (1333 M)
Al Khatib at Tibrizy......................    (wafat 737 H) (1336 M)
Al-Mizzi……………...………..………….   (wafat 742 H) (1342 M)
Ibnu As Shalah………...…..…..…..…    (wafat 743 H) (1342 M)
Ibnu Abdul Hadi ...........................   (wafat 744 H) (1343 M)
Adz Dzahaby…………...........……     (wafat 748 H) (1347 M)
Ibnul Qoyyim Al Jauziah…….... (wafat 751 H) (1350 M)
As Subki……………..…........………...     (wafat 756 H) (1355 M)
Az Zaila'i....................................      (wafat 762 H) (1361 M) 
Syamsuddin Ibnu Muflih ..............   (wafat 763 H) (1361 M)
Ibnu Katsir………………....…..…….   (wafat 774 H) (1372 M)
Asy Syatiby ...............................    (wafat 790 H) (1388 M)
At-Taftazani ................................    (wafat 791 H) (1361 M)
Ibnu Abil ‘Izz ..............................    (wafat 792 H) (1389 M) 
Ibnu Rajab Al Hambali ………..    (wafat 795 H) (1393 M)
Ibnul Mulaqqan .........................     (wafat 804 H) (1402 M)
Al-Balqini ..................................     (wafat 805 H) (1403 M)
Al Iraqi…………….........…………       (wafat 806 H) (1404 M)
Al Haitsamy........................              (wafat 807 H) (1404 M)
Zainuddin Al-Maraghi..................    (wafat 810 H) (1407 M)
Fairuz Abadi ..............................    (wafat 817 H) (1415 M)
Badruddin al-’Aini .......................  (wafat 841 H) (1437 M)
Ibnu Hajar Al ‘Asqalany............ (wafat 852 H) (1448 M)
Badruddin Al Kinani ......................(wafat 861 H) (1457 M)
Jalaluddin Mahalli (Tfsr Jalalain I)..(wafat 864 H/1455 M)
Ibnul Hammam ..........................     (wafat 869 H) (1465 M)
Sakhawi ......................................    (wafat 902 H) (1497 M)
Ibnu 'Abdil Hadi ..........................    (wafat 909 H) (1504 M)
Jalaluddin As Suyuthi (Tfsr Jalalain II).(wafat 911 H) (1505 M)
As-Samhudi ..................................  (wafat 911 H) (1505 M)
Abul Hasan 'Araaq al-Kinani ..........  (wafat 963 H) (1555 M)
Al-Hijawi.......................................  (wafat 967 H) (1559 M)
Ibnu Janim al Mishri.......................  (wafat 970 H) (1563 M)
Asy Sya'rani .................................    (wafat 973 H) (1566 M)
Al Haitami.....................................   (wafat 973 H) (1566 M)
Ali bin Hisamuddin Al-Hindi ........... (wafat 975 H) (1567 M)
Ali Muttaqi ..................................   (wafat 975 H) (1568 M)
Asy-Syarbini ................................   (wafat 977 H) (1569 M)
Nuruddin Al-Harawi .....................  (wafat 1014 H) (1605 M)
'Ali al Qari.....................................   (wafat 1014 H) (1606 M)
Al Munawi......................................   (wafat 1031 H) (1622 M)
Mar'i Al-Karami Al-Muqaddasi ........ (wafat 1033 H) (1623 M)
Muh. Ibnu Sulaiman .......................    (wafat 1094 H) (1682 M)
Muh. Hayat As-Sindi ......................   (wafat 1163 H) (1749 M)
Ad Dahlawi.....................................   (wafat 1176 H) (1763 M)
Ash Shan’ani………....…...…………     (wafat 1182 H) (1768 M)
As-Safariniy ....................................  (wafat 1188 H) (1774 M)
Ahmad Ad-Darudir ........................   (wafat 1201 H) (1786 M)
Ibnu Abidin ..................................... (wafat 1203 H) (1789 M)
Az-Zubaidi ...................................    (wafat 1205 H) (1791 M)
Muh. bin Abdul Wahhab…..…..    (wafat 1206 H) (1791 M)
Al Filani ........................................    (wafat 1218 H) (1804 M)
Az Zarqani....................................    (wafat 1220 H) (1806 M)
Ad-Dasuqi ....................................   (wafat 1230 H) (1814 M)
As Syaukany………....…...………       (wafat 1250 H) (1834 M)
Abdu Al Hayyi Al Laknawi…....…      (wafat 1304 H) (1887 M)
Muh. Shiddiq Hasan Khan............     (wafat 1307 H) (1890 M)

                                                                                     Abad 20 (Thn 1900)         

● Muh. Jamaluddin Al Qasimi ad Dimasyqi ...(wafat 1332 H) (1913 M)
Abdullah bin Ja’far Al Kattany................    (wafat 1345 H) (1927 M)
Syamsul Haq Al-Azhim ............................. (wafat 1349 H) (1930 M)
Anwar Syah al-Kasymiri al-Hindi ............   (wafat 1352 H) (1933 M)
Badrudin Al-Hasani ................................. (wafat 1354 H) (1935 M)
Muh. Rasyid Ridha ………...…................       (wafat 1354 H) (1935 M)
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.....  (wafat 1367 H) (1947 M)
Ahmad Syakir.........................................    (wafat 1377 H) (1957 M)
Al-Mu'allimi Al-Yamani ............................ (wafat 1386 H) (1966 M)
Muh. bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ..........    (wafat 1389 H) (1969 M)
Muh. Amin Asy-Syinqithi ..................  (wafat 1393 H) (1973 M)
Abdullah Muh. Ibnu Humayd .................   (wafat 1402 H) (1981 M)
Ihsan Ilahi Zhahir ...................................   (wafat 1407 H) (1986 M) 
Hamud At-Tuwaijiri ...............................    (wafat 1413 H) (1992 M)
Muhammad Dhiya`i.................................   (wafat 1415 H) (1994 M)
Badi'uddin As-Sindi ................................   (wafat 1416 H) (1995 M)
Muhammad Al-Jami ..............................    (wafat 1416 H) (1995 M)
Hammad Al-Anshari .............................     (wafat 1418 H) (1997 M)
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz………(wafat 1999 M)
Muh. bin Shaleh Al Utsaimin………..…  (wafat 1999 M)
Muh. Nashiruddin Al Albani………..…   (wafat 1999 M)

                                                                        Abad 21 (Thn 2000)                    
 
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i….............…...    (wafat 2001 M)
Abdul Qadir al-Arnauut .............................      (wafat 2004 M)
Abdus Salam bin Barjas Aali Abdil Karim ....    (wafat 2004 M)
Al-Mubarakfuri .........................................       (wafat 2006 M)
Ahmad bin Yahya An-Najmi.........................    (wafat 2008 M) 
Bakar Abu Zaid ......................................       (wafat 2009 M)
Abdullah bin ‘Abdirrahman al Jibrin..... (wafat 2009 M)
Abdullah Al Ghudayyan ................................  (wafat 2010 M)
Syaikh  Muhammad bin Jamil Zainu................. (wafat 2010 M)
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah
Salim ‘Ied Al Hilaly hafidhahullah 
Ali Hasan Al Halabi hafidhahullah
Yahya al Hajury hafidhahullah
Masyhur Hasan Salman hafidhahullah
Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql hafidhahullah
Abu Ishaq al-Huwainiy hafidhahullah
Muh. bin Musa Alu Nashr hafidhahullah
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidhahullah
Muh. bin Abdirrahman Al-Khumais hafidhahullah
Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafidhahullah
________________________________________

Kemudian, untuk memperjelas, siapakah yang di maksud dengan Ulama? silahkan Klik disini



Data updated : Rabu, 23 Juni 2010, jam 15:40


Catatan :
Artikel ini adalah hasil dari pencarian dan pengumpulan data yang cukup lama.
Data dalam artikel ini masih akan terus di update.
Mohon di koreksi jika ada :
- kesalahan data, baik berupa tahun wafat maupun nama,
- nama-nama yang seharusnya tidak dicantumkan, namun ternyata tercantumkan
- juga jika ada usulan penambahan nama. Tafadhdhol..


Rujukan :
- Maraji' "Mulia dengan Manhaj Salaf", Yazid bin Abdul Qadir Jawa, Pustaka At Taqwa
- Maraji "Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah", Yazid bin Abdul Qadir Jawa, Pustaka Imam Syafi'i
- Maraji' "Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam", Syaikh Albany, Pustaka Ibnu Katsir
- "60 Biografi Ulama Salaf", Syaikh Ahmad Farid, Pustaka Al Kautsar
- "Mukhtashar Ilmu Musthalahul Hadits", Drs. Fatchur Rahman, PT. Al Ma'arif.
- "Pengantar Ilmu Musthalahul Hadits", Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darul Qalam.
- Al Bida' Al Hauliyyah, "Ritual Bid'ah dalam setahun", Abdullah bin Abdul Aziz At Tuwaijiry, Darul Falah.
- www.almanhaj.or.id
- www.darussalaf.or.id
- www.salafy.or.id 
- www.ahlulhadiits.wordpress.com
- www.salafyoon.net
 
Copyright 2009 Ruang Belajar Ummu Naufal - Widuri. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Download Royalty free images without registering at Pixmac.com